Opini, rakyatbicara.co.id – Pergeseran para kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bermigrasi ke kubu Prabowo Subianto menimbulkan tanda tanya yang serius mengenai kondisi internal partai. Fenomena ini, yang mencakup kepergian tokoh-tokoh politik senior PDIP, seperti Bung Budiman Sujatmiko dan Bung Effendi Simbolon, mengisyaratkan adanya nuansa ketidaknyamanan dan masalah internal yang perlu segera diperbaiki.
Melihat sejarah merosotnya partai-partai besar di masa lalu, terutama saat banyak tokoh terbaiknya berpindah ke partai lain, seperti yang terjadi pada Partai Golkar dan PPP di awal Reformasi, serta Partai Demokrat baru-baru ini, fenomena perpindahan ini menjadi perhatian serius. Tindakan ini menandakan bahwa ada masalah serius yang perlu diatasi di dalam tubuh PDIP.
Salah satu isu yang mencuat adalah sistem kepemimpinan yang cenderung terpusat dan bahkan mengarah pada sistem dinasti keluarga. Hal ini mengurangi mekanisme demokrasi yang seharusnya berjalan maksimal dan berpotensi menciptakan kultus individu yang berlebihan. Sifat ini kemudian berdampak pada munculnya sikap-sikap arogansi yang merambat pada para pemimpin di dalam partai.
Selain itu, pernyataan menyinggung Presiden Jokowi oleh ketua partai, Ibu Megawati, saat merayakan HUT PDIP ke-50, juga menimbulkan kontroversi. Meskipun dianggap sebagai candaan, banyak masyarakat yang menafsirkan pernyataan tersebut sebagai penghinaan terhadap Jokowi sebagai Presiden. Hal ini menunjukkan sikap arogansi yang merugikan elektabilitas partai dan membuat kader merasa kurang dihargai.
Tidak hanya itu, sistem kekerabatan dan kedekatan yang kuat di dalam partai juga mempengaruhi dinamika internal. Terbentuknya kelompok-kelompok (kubu) yang menginduk pada kerabat atau pejabat utama dalam partai menyebabkan persaingan internal yang intens dan saling menjatuhkan. Meskipun ini lazim terjadi di semua partai, tetapi anginnya tidak sedahsyat di tubuh PDIP saat ini.
Istilah “petugas partai” yang digunakan secara internal, meskipun bermakna benar, menimbulkan kesan otoriter dan berkuasa dalam pandangan masyarakat. Persepsi ini harus diwaspadai karena suara rakyat adalah suara Tuhan dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, disarankan untuk memperbaiki istilah-istilah yang tidak selaras dengan semangat demokrasi yang Pancasilais.
Beberapa saran untuk mengatasi isu-isu tersebut telah dihimpun dari para pakar. Pertama, hidupkan kembali sistem demokrasi yang sehat dan hindari jatuh ke dalam pola dinasti yang merangsang kultus individu. Kedua, hargai kader senior partai dengan memberikan penghargaan yang pantas atas jasa dan perjuangannya. Ketiga, hindari janji politik yang berlebihan yang bisa mengecewakan dan merusak kepercayaan publik terhadap partai. Keempat, perkuat kerjasama dan hindari sistem kelompok-kelompok yang saling bersaing secara berlebihan. Kelima, jalin kembali hubungan dengan Presiden Jokowi sebagai kader terbaik PDIP tanpa menganggapnya sebagai milik eksklusif partai.
Semua partai politik di Indonesia harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais dan berada di garis rakyat. Demokrasi yang sehat, menghargai jasa kader, dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme harus menjadi komitmen bersama. Semoga Indonesia tetap menjadi bangsa yang sejahtera, berdaulat, adil, dan makmur, yang berakar pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Salam Demokrasi.